Jumat, 02 April 2010

MARILAH BERPIKIR POSITIF


( Hermadi, S.Pd )
Assalamu’alaikum wr. wb.
Betapa sering kita terbelenggu oleh pikiran yang negatif. Pikiran yang selalu membawa kita pada kondisi yang tidak nyaman. Berawal dari membanding-bandingkan orang sampai dengan membanding-bandingkan kekayaan. Berawal dari membanding-bandingkan keadaan sampai dengan membanding-bandingkan kedudukan. Mulai dari menilai sipat dan sikap kawan sampai dengan mencari kelemahan dan kesalahan. Mulai dari memojokkan kawan sampai dengan menghantam dan mematikan. Dan pada giliran yang terakhir, pikiran lelah, resah dan gelisah, buntu mencari jalan keluar.
Kuatnya rasa curiga membuat prasangka yang bukan-bukan. Apalagi kalau nasib baik sedang tidak berpihak kepada kita. Penasaran yang memuncak didorong hati yang kecewa membuat segan dan malas berpikir secara sehat. Kebiasaan berpikir negatif siang dan malam membuat tertawapun nyaris tak ada. Kalau toh tertawa itupun karena terpaksa. Padahal tertawa itu sehat dan menyehatkan. Alangkah menderitanya kita ..?
Memang biasanya disela-sela itu ada suara-suara yang mengajak kita untuk merobah pola pikir yang lebih baik. Tetapi seolah berpikir negatif itu sudah merupakan reaksi tradisi dari “ hasil pikir “ apa yang kita ketahui dan alami sehari-hari. Kejadian yang menimpa kita anggap pahit dan menyiksa hati. Sedikit demi sedikit, tetapi pasti, rasa iba dan rendah diri menyelinap masuk ke sanubari, membentuk rasa kecewa dan sakit hati. Akal sehat tidak selalu dapat ditampilkan untuk menangkal dan menangkis penyakit kronis si “ sakit hati “. Bila kondisi sudah begini, maka inilah penderitaan !!! inilah kesengsaraan !!!
Apalagi jika kita membandingkan dan menganggap hidup kita dibawah orang yang sederajat dan seangkatan. Maka meratapi nasib dan nasib menjadi kebiasaan yang tak mudah sirna.  Bahkan  pertanyaan yang menggema dan tidak terhindarkan adalah … Yaa Allah .. dimanakah letak kebahagiaan ?
Padahal … apakah betul begitu? Apakah betul kita sengsara dan menderita ?
Jawabnya adalah TIDAK !!!
Kita bisa merasa bahagia … mengapa pilih merasa sengsara ..?
Kita bisa merasa senang hati … mengapa pilih yang sakit hati .. ?
Bahagia dan sengsara, senang dan sakit, semua tergantung dari pola pikir yang kita jalankan. Mau terus berpikir negatif, atau berpikir positif.
Cobalah kita renungkan !!!
Mengapa pikiran negatif sepanjang hari sangat kuat mencengkeram otak kita sehingga sulit menjalankan pola pikir yang positif ..? Manakala kita sadar dan berniat untuk berubah, mengapa itu sulit dilakukan ..? Benarkah otak kita telah di-setting untuk mengedepankan kecurigaan yang berbuntut was-was terhadap segala bentuk perubahan dan kejadian ?
Berpikir negatif tidak akan menghasilkan buah yang positif. Kita tidak mendapatkan manfaat apapun dari pola pikir yang negatif. Bahkan kita dapat menderita penyakit yang ngeri sekali, yaitu mengidap “ penyakit rohani dan jasmani “. Kalau sudah begini, maka peluang untuk merasakan hidup senang menjadi sempit sekali. Penderitaan yang kita alami menjadi penderitaan abadi karena tak mudah di obati.
Tanpa disadari mudah sekali terperangkap dengan aneka pikiran yang negatif. Sering kita tak kuasa menolaknya untuk hadir. Saat kondisi tertentu, pikiran negatif tiba-tiba menyusup masuk ke dalam pikiran kita. Dan baru sadar setelah beberapa saat kemudian. Pikiran negatif membuahkan rasa iba diri sendiri dan rasa iri pada orang lain. Pikiran negatif terjadi karena kita tidak mau, atau bahkan malu untuk menerima kenyataan yang ada. Kita selalu beranggapan orang lain lebih baik, lebih enak, lebih kaya, lebih sejahtera, lebih sukses, dan lain-lain. Yaah semua yang lebih ada pada orang lain, sementara semua yang kurang kita anggap selalu ada pada kita. Pikiran negatif yang ada pada diri kita biasanya bisa terjadi karena pendidikan ( dari orang tua ), karena kurangnya pengetahuan, dan bisa terjadi karena pengalaman. Pengalaman yang buruk membuat kita takut bangkit maju kedepan. Kegagalan membuat takut untuk mengalami kegagalan yang sama. Pikiran negatif bisa membuat kita kecanduan. Jika terus terbiasa dengan pikiran negatif, maka kita kecanduan membutuhkannya. Akibatnya segala hal akan mudah kita lihat dari kacamata negatif.
Kita terjebak dalam pikiran negatif dan sulit keluar karena biasa memilihnya menjadi pikiran yang paling nyaman berada di otak kita. Keburukan lebih mudah kita temukan dibanding kebaikan. Apalagi memilih pikiran positif kerap melahirkan tanggung jawab yang tidak ringan, sedangkan memilih pikiran negatif tidak sama sekali.. Saat kita sadar bahwa suatu pekerjaan memerlukan kesungguhan dan kerja keras, kita jadi enggan untuk melakukannya. Dan berbagai pernyataan negatif—sebagai perwujudan pikiran negatif—mudah keluar dari mulut kita. Padahal semua itu karena kita enggan dan malas untuk mengerjakan. Berarti kita lari dari tanggung jawab!
Kita punya kebebasan untuk memilih pikiran apa yang akan kita pasang di otak kita. Mari mulailah menerima dan melaksanakan tanggung jawab atas hidup kita. Berusahalah untuk berpikir positif.
Kalau kita saat ini sedang sedih, hal itu karena kita pikiran kita sendiri yang membuatnya sedih. Jika ada masalah yang tengah menghadang, kita harus bisa bertanggung jawab untuk menyelesaikannya, dengan pikiran positif. Jika seseorang membutuhkan bantuan, maka kita berkewajiban membantunya. Sebaliknya jika kita memerlukan bantuan, maka kita cari kawan yang bisa membantunya. Kalau kita ingin mempunyai kawan, maka harus pandai menarik dan mengundang mereka agar nyaman bersama kita. Kalau kita benci dengan keadaan saat ini yang penuh kekurangan, maka kita harus segera berbuat untuk mengakhirinya. Sebab, sukses tidak datang begitu saja pada diri kita, tanpa kita sendiri yang mengusahakannya.  Mengeluh adalah bentuk penolakan tanggung jawab. Dan sikap menyalahkan orang  lain hanyalah cara lain untuk menjauhkan dari tanggung jawab. Terimalah apa adanya.
Marilah dan mulailah  berpikir positip. Sebab berpikir positif jauh lebih nikmat dan bermanfaat. Disamping senantiasa bersyukur pada Illahi juga dapat menikmati nikmatnya hidup ini. Syukurilah  keadaan yang ada pada diri kita. Sebab hal itu membuat kita lega bernafas dan lapang dada. Penyakit kronis “ iri “ dan “ sakit hati “ jangan biarkan nenyelinap dilubuk hati. Singkirkan dengan ketaqwaan dan keimanan.
Bila di waktu mendatang kita terjebak dalam pikiran negatif, STOP dan tanyakan pada diri sendiri, apakah ingin menghindar dari tanggung jawab atas kenyataan yang terjadi, atau menerima tanggung jawab untuk berjuang dan mengatasi. Keputusan ada pada diri kita sendiri. ingin terjerumus kedalam jurang “ sakit hati “, atau ingin terbang hinggap di “ senang hati “ yang membawa kita merasakan nikmatnya hidup ini. Dengan senang hati ( bersyukur ) berarti kita sudah bertindak untuk mengubah kehidupan menjadi lebih baik.
Mari dengan akal budi dan nurani, kita gunakan pikiran ini untuk bertanggung jawab membawa  kita pada hidup yang sejahtera dan lapang hati. Mudah-mudahan Allah SWT melimpahkan rasa sabar, nikmat, dan puas hati  dalam kehidupan kita sehari-hari,  sehingga kita tidak menjadi umatNya yang menderita sakit jasmani dan sakit rohani. Amin
Wassalmu’alaikum wr. wb.



http://sosialdanpendidikan.blogspot.com/

Rabu, 31 Maret 2010

MAJULAH GURU !!! JANGAN SAMPAI DIGUYU DAN DISARU





MAJULAH GURU !!! JANGAN SAMPAI DIGUYU DAN DISARU

( Hermadi, S.Pd )

( Diguyu = ditertawakan, disaru = dicela )

Akhir-akhir ini banyak sorotan masyarakat yang ditujukan kepada guru. Menurut pengamatan penulis kalau tidak salah sejak digulirkannya Sertifikasi Guru, yaitu guru yang menerima tambahan intensif 1 kali gaji pokok setiap bulan. Dan ini sudah berjalan sejak tahun 2008. Semula gaji guru pas-pasan sekarang menjadi lebih tinggi dibanding penghasilan pegawai negeri lainnya. Padahal insentif tersebut tidak serta merta melekat pada guru, melainkan penghargaan Pemerintah yang diberikan kepada guru, yang dianggap profesioanal dalam tugas kependidikan. Penghargaan tersdebut diberikan kepada guru yang memiliki :

a. Sertifikat Pendidik

b. Melaksanakan Pembelajaran minimal 24 jam tatap muka / minggu

c. Mengajar mata pelajaran yang relevan dengan setifikatnya

Sertifikasi Guru tersebut kontan saja sedikit banyak menimbulkan rasa iri pada jajaran pegwai negeri yang lain. Pasalnya mereka menerima gaji sesuai apa adanya, plus tunjangan, tanpa ada tambahan yang lainnya. Kenaikan pangkat dan golongan diberlakukan regular 4 tahun sekali, sementara bagi guru kenaikan pangkat dan golongan diberikan berdasarkan Penilaian Angka Kredit ( PAK ). Dengan adanya PAK memungkinkan guru naik pangkat paling cepat 4 semester, paling lama 5 semester ( 2,5 tahun ). Kenaikan pangkat dan golongan bagi guru melaju cepat, mengalahkan pegawai yang lain. Bagi guru yang baru diangkat ( S1 = III/A ) untuk mencapai pangkat dan golongan Pembina, IV/A hanya perlu waktu 10 s.d 12 tahun masa kerja, sedangkan bagi pegawai yang lain memerlukan waktu 20 tahun. Di jajaran pendidik yang menduduki pangkat/golongan Pembina/IV/A tidak terhitung banyaknya. Dan seandainya dengan persyaratan yang sama bisa naik pangkat terus, maka akan banyak nanti guru pensiun dengan golongan IV/E.

Wajar saja jika kemudian perguruan tinggi untuk kependidikan yang tadinya kurang diminati lulusan SMA/SMK, kini bagai magnit memiliki daya tarik kuat sekali untuk diminati lulusan tersebut. Lulusan SMA/SMK saling berminat menjadi guru masuk pada bidang ilmu pendidikan yang mungkin bakat dan karakternya tidak cocok menjadi guru. bahkan yang sudah “ sarjana “ pun berbondong-bondong mencari Akta 4 untuk dapat menjadi guru. Atau kalau tidak Akta 4 ya mencari jalan/peluang ( PPG ) untuk menjadi guru.

Hal ini disebabkan semakin sulitnya mencari pekerjaan sesuai dengan jurusan yang ditekuninya. Apalagi sejak diterapkannya otonomi daerah. Bagi sarjana non pendidikan yang diderahnya tidak ada kuota, mau tidak mau harus mengikuti seleksi CPNS pusat. Disamping saingannya cukup berat harus bersedia ditempatkan dimana saja diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara sekarang banyak sarjana yang semakin cengeng, inginnya bekerja di sekitar daerahnya sendiri.

Rasanya masyarakat menjatuhkan penilaian kurang adil terhadap profil seorang guru. Orang mengira tuntutan pendidikan masa lalu dengan sekarang sama. Oleh karenanya juga mengira kalau pekerjaan guru dulu dan sekarang juga sama, ringan-ringan saja. Mengajar, menyuruh mencatat, memberi tugas, menarik uang, dan lain-lain … yaah pokoknya yang ringan dan mudah dikerjakan. Kemajuan siswa dalam mengetahui/menguasai bidang teknologi tidak dikaitkan dengan keberhasilan pendidikan, melainkan dikaitkan dengan keadaan yang kata mereka memang seharusnya begitu. Tetapi jika ada peserta didik yang berbuat tidak terpuji karena terkena dampak negatife penggunaan tehnologi maju, kesalahan dialamatkan pada sekolah terutama pada guru-gurunya. Kesadaran akan tanggung jawab sama-sama mendidik nyaris tidak mereka miliki. Orangtua jarang yang peduli. Yang penting anak sudah disekolahkan ya sudah ….dan orangtua tidak merasa bersalah.

Dengan adanya sertifikasi guru banyak yang berkomentar sekarang mendengarkan lagu “ Hymne Guru “ tidak ada makna dan magnitnya sama sekali. Kalau dulu begitu mendengar lagu itu hati jadi terharu dan langsung bisa menangis. Tetapi sekarang mendengar lagu itu biasa-biasa saja, tidak tersentuh sama sekali. Toh guru bukan lagi “ Pahlawan Tanpa Tanda Jasa “ tapi diubah “ Pegawai Terus Tambah Jaya “ Amiiin.

Masyarakat mungkin belum banyak yang tahu, kalau tuntutan pendidikan dulu dan sekarang sudah jauh berbeda. Sekarang sudah tidak jamannya lagi guru yang statis seperti dulu, ibarat air es yang tetap tenang tanpa bergeming walaupun ada gelombang perkembangan dan kemajuan jaman. Apa yang didapat dari ilmu pendidikan guru dibawa terus tanpa ada pengembangan yang berarti. Meski guru dianggap sumber ilmu, tetapi orang mengira guru tidak mampu menhadapi tantangan perkembangan ilmu/teknologi yang terbaru. Gambaran guru yang mengajar menggunakan computer, Laptop, ( multi media ) jauh dari angan-angan mereka. Apalagi untuk sekolah yang masih dasar ( SD, SMP ). Menggunakan komputer tahunya kalau kerja administrasi di kantor saja, dan hanya didapat kalau kursus komputer diluar. Masyarakat belum memahami kalau komputer, Laptop, Internet, itu sudah menjadi sarana belajar bagi setiap siswa sekarang.

Menjadi guru tidak mudah seperti dulu. Guru dituntut lebih maju sesuai dengan perkembangan ilmu. Setiap guru harus bisa mengembangkan ilmu pengetahuan, baik untuk kepentingan mengajar, maupun untuk kepentingan standard profesionalismenya ( Standar Kompetensi Guru ). Tidak ada lagi guru yang apriori terhadap tuntutan perkembangan ilmu pendidikan. Tidak ada lagi guru yang gagap ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak ada lagi guru yang tidak bisa menggunakan komputer. Tidak ada lagi guru yang tidak bersentuhan dengan alat pembelajaran multimedia. Baik yang berupa Laptop, LCD, Internet, dll. Tidak ada lagi guru yang berkata : “ Aaah sudahlah … aku tidak tahu … toh bukan urusanku, bukan ilmu yang harus ku kuasai … tidak tahupun juga tidak apa-apa “.

Guru!!! Meski tidak gila hormat, tetapi jadilah terhormat di masyarakat …? Kalau kita menyimak wacana “ guru “ yang ada di negara tetangga kita Malaysia, disana guru mendapat kedudukan yang terhormat. Sama seperti kedudukan pembesar atau pejabat didaerahnya. Kalau disini lagu-lagu pujian untuk guru sangat terbatas, hanya 2 buah lagu yaitu : Lagu Untuk Guru dan Hymne Guru, di Malaysia lebih dari 10 lagu pujian untuk guru. Siswa-siswi dalam memperlakukan guru sama seperti layaknya meperlakukan ayah dan ibu. Begitu khusyu’ dalam mendengarkan dan mengindahkan ajaran serta nasehatnya. Setiap siswa meneteskan air mata ketika membawakan lagu atau puisi yang syairnya berisi pujian untuk guru. Di Malaysia Sepuluh tahun yang lalu gaji guru ( pangkat dan masa kerja disamakan ) satu bulan kurang lebih 1.200 Ringgit ( Rp. 3.120.000,- ) Di sini pada waktu itu kurang lebih Rp. 914.000,- Selisih Rp. 2.206.000,- Untuk Petugas Kantor ( pegawai yang lain ) penghasilan satu bulan kurang lebih : 900 ringgit ( Rp. 2.430.000,- ). Ternyata di Malaysia gaji guru memang lebih tinggi dibanding pegawai yang lain.

Bagaimanakah kedudukan dan kehidupan guru dimasa lalu .. ?

Di masyarakat kita kedudukan guru memang cukup terhormat. Tetapi kebanyakan mereka mengidolakan guru itu haruslah sosok yang sederhana. Baik sederhana dalam prilaku penampilannya, maupun sederhana dalam prilaku ekonominya. Kesederhanaannya haruslah menjadi contoh bagi golongan masyarakat yang sederhana pula. Sementara masyarakat sudah mengalami kemajuan dan peningkatan, guru haruslah tetap tinggal disitu. Tanpa tersentuh tangan-tangan yang berwenang mengurus kesejahteraan. Yang menyedihkan banyak guru yang pandai merekayasa ilmu. Dengan ungkapan “ Rajin pangkal pandai “, “ hemat pangkal kaya “, mewajibkan peserta didik menabung uang setiap harinya. Uang tabungan tersebut digunakan untuk menutup kekurangan uang belanja. Pada gilirannya saat kenaikan kelas uang harus dibagikan banyak guru kebingungan mencari pinjaman uang di bank-bank amatiran. Gaji yang didapat tidak cukup dibelanjakan untuk makan satu bulan. Guru yang digambarkan dalam lagu " Umar Bakri " melekat dalam kehidupan guru sehari-hari.

TUGAS MENGAJAR

Dalam melaksanakan pembelajaran tatap muka didalam kelas, guru harus melakukan persiapan terlebih dahulu, yakni, pertama persiapan materi yang akan di ajarkan, kedua persiapan terhadap situasi yang akan dimasuki, dan yang ketiga, persiapan terhadap siswa yang akan dihadapi.

    1. Persiapan dalam tujuan umum pembelajaran
      Guru harus mengetahui dan menguasai tujuan pembelajaran dari materi yang akan disampaikan.
    2. Persiapan tentang bahan pelajaran yang akan diajarkan.
      Guru harus siap dengan rencana pengajaran (RPP).
    3. Persiapan tentang metode mengajar yang akan digunakan dalam mengajar.
      Contoh metode mengajar seperti, demonstrasi, tanya jawab atau diskusi, Role Play, dan lain-lain.
    4. Persiapan dalam penggunaan alat-alat peraga.
      Guru wajib menggunakan alat peraga atau media untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Alat peraga atau media yang digunakan harus tepat guna.

Aktivitas ini merupakan usaha sadar untuk merangsang berkembangnya aspek kognitif, afektif dan psikomotoris para peserta didik secara maksimal. Untuk memaksimalkan tugas dan peran tersebut, seorang guru harus memiliki kepribadian sejati dan kecakapan profesi. Kepribadian sejati sang guru didukung mentalitas, moralitas dan spiritualitas yang kuat. Memiliki mentalitas pribadi yang kuat, karena harus bersikap jujur, menghargai nilai-nilai kehidupan, memegang teguh komitmen serta selalu meyakini bahwa kehidupan menyediakan segala sesuatu yang baik. Sedangkan kecakapan profesi ditentukan oleh kemampuannya dalam menyampaikan materi pelajaran sehingga dapat diterima oleh peserta didik. Dalam hal kemampuannya meyampaikan materi pelajaran diukur dengan :

a. Tepatnya menetukan penggunaan metode mengajar

b. Dapat menguasai atau mengelola kelas dengan baik

c. Keberhasilan peserta didik yang dilihat dari hasil evaluasi

Bersambung …


http://sosialdanpendidikan.blogspot.com/

Sabtu, 20 Maret 2010

SALAH SATU KONSEP MENDIDIK ANAK

( Hermadi, S.Pd )


Setiap orangtua tentu mempunyai keinginan yang sama terhadap anak-anaknya, yaitu supaya berhasil dalam sekolahnya dan dikemudian hari mendapatkan pekerjaan yang memadai. Tidak hanya itu, tetapi juga mempunyai tingkat penghidupan yang melebihi orangtuanya. Baik dalam hal martabat maupun juga status sosial ekonominya. Namun harapan itu tentulah tidak mudah terlaksana mengingat banyak faktor yang mempengaruhi perjalanan pendidikannya. Untuk memudahkan si anak mengerti tentang tugas dan kewajibannya sebagai seorang anak dan juga sebagai seorang pelajar, cobalah tanamkan pengertian dibawah ini dengan disertai penggunakan waktu secara efisien dan berkelanjutan.


Setiap orang sejak bangun tidur dipagi hari sampai menjelang tidur dimalam hari, dan bahkan tidurnyapun, membutuhkan anggaran atau biaya. Tidak ada seorangpun yang dapat hidup enak ditengah-tengah masyarakat dengan tanpa memerlukan anggaran. Pagi hari sewaktu mandi kita memerlukan handuk, sabun, pasta gigi, dan lain-lain, kesemuanya dari hasil membeli. Bahkan ada juga ditempat tertentu air saja harus dibeli dengan uang. Makan pagi-siang-malam, dan juga tambahan kebutuhan makan yang lain juga didapat dari hasil membeli. Pakaian sekolah yang bermacam-macam, pakaian harian- bermaian, pakaian bepergian, dan lain-lain kesemuanya dari hasil membeli. Perlengkapan/perhiasan yang dikenakan juga hasil membeli. Kebutuhan untuk tidur, dipan kasur, bantal guling, selimut, sampai obat nyamuk dari hasil membeli. Belum ditambah kebutuhan lain yang termasuk kebutuhan sekunder, atau bahkan diatas kebutuhan sekunder atau kebutuhan mewah, semuanya didapat dari hasil membeli. Tidak ada yang dating dengan sendiriny dan gratis begitu saja.


Cobalah beri pengertian pada diri anak tentang pengertian diatas. Jelaskan kemudian bahwa untuk saat ini semua itu tidak diketahui dan disadari oleh si anak. Karena semua kebutuhan sudah dicukupi oleh orang tua. Anak tinggal enak-enak menikmati segala fasilitas dan pemberian orangtua yang didasari pada perasaan cinta kasih orang tua terhadap anak. Selagi anak masih belum dewasa hal itu wajar, karena memang anak merupakan amanat yang harus dipelihara sampai si anak tersebut dewasa. Apalagi kalau orangtuanya termasuk orang berada atau berkecukupan. Bahkan lebih dari itu, setelah dewasapun selagi orangtuanya masih ada ( berumur panjang ) si anak tetap memerlukan bimbingan dari orangtua.


Dan selaku orang tua merasa dituntut untuk memberikan apa yang terbaik buat anak-anaknya. Tetapi kadang banyak anak yang tidak mau tahu terhadap segala bimbingan orangtuanya. Maka benar seperti bunyi ungkapan peribahasa yang mengatakan " kasih ibu sepanjang jalan kasih anak sepanjang galah " Artinya kasih dan hati orang tua itu selalu menyertai dimanapun anak itu berada, tetapi sebaliknya si anak jarang yang meluangkan waktu untuk balas memikirkan dan membantu kesulitan orangtuanya. Apalagi jika sudah berkeluarga. Seakan-akan terpisah dari kewajiban memelihara ( memikirkan ) orang tua.


Nah … bagaimana jika seandainya orangtua dalam keadaan cukup, atau bahkan kurang, … dan lebih lanjut lagi jika nanti orangtua sudah tidak bekerja lagi ( pensiun ) ..? dapatkah anak akan terus terjamin kehidupannya …. ?


Tentu saja tidak ! Si anak itu sendiri yang nantinya akan dan harus mencukupi kebutuhannya sendiri. Apalagi kalu nantinya sudah membentuk keluarga. Keluarga itulah yang nantinya harus berusaha mencukupi kebutuhan keluarga sendiri.


Beri pengertian terhadap anak bahwa kita senantiasa bersyukur karena dapat berkesempatan untuk diberi dan menikmati apa yang Allah SWT berikan kepada kita, yang menyebabkan kita bisa merasakan hidup enak seperti yang kita alami. Coba si anak kita ajak menengok kehidupan anak sisi lain yang kita jumpai di terminal, di pasar, di perempatan jalan, dan ditempat-tempat strategis tertentu. Betapa kita ikut merasakan kehidupannya yang penuh dengan liku-liku penderitaan. Mendapatkan sesuap nasi untuk menyambung nyawa mereka terpaksa harus meminta-minta mengemis dan mengamen. Hal ini bukan karena orangtua tidak memelihara dan merawatnya, tetapi karena orangtuanyapun juga mengalami kesulitan yang sama.

Nah kalau si anak sudah bisa menerima dan meresapi gambaran yang kita berikan kepadanya, maka baru kita sampaikan harapan dan keinginan kita sebagai orang tua terhadap anak, anatara lain :

1. Rajin belajar supaya tercapai cita-citanya
2. Berakhlaq dan bertaqwa kepada Allah SWT.
3. Berbakti kepada orangtua
4. Bermanfaat bagi sesamanya, nusa, bangsa, dan agama.
5. Mempunyai sifat dan sikap ksatria, serta mempunyai rasa tanggung jawab

Untuk menunjang keinginan dan harapan tersebut sebagai orang tua kita coba untuk sering memberikan pengertian kepada anak di setiap kesempatan, antara lain :

1. Pada waktu anak kita ajak makan diwarung/restoran biarkan anak tersebut makan sepuasnya dengan menu makanan sesuai dengan kesukaanya. Setelah selesai makan kita beri pengertian bahwa itu semua bisa kita nikmati karena bekerja dan mendapatkan uang. Sedangkan orang yang tidak bekerja tidak akan mendapat uang. Kalau kelak nanti ingin kebutuhan tercukupi, maka harus bekerja agar mendapatkan uang. Untuk mendapatkan uang yang halal maka harus bekerja yang halal pula. Supaya nantinya mendapatkan pekerjaan yang halal maka dari sekarang harus belajar yang rajin dan mempunyai cita-cita yang terpuji. Jangan lupa bahwa bimbingan tersebut kita sampaikan dengan didasari rasa keimanan dan ketaqwaan, yaitu berbuat dan berdo'a. Justru do'a itulah yang Insya Allah akan menuntun dan menerangi langkah-langkah kita.

2. Sediakan tempat belajar yang memadai, baik dari segi tempat maupun penerangan. Beri pengertian waktu untuk belajar paling tidak 2 jam setiap hari. Kalau perlu arahkan anak tersebut untuk membuat alokasi waktu, dan melakukan kegiatan/pekerjaan sehari-hari sesuai dengan alokasi waktu yang dibuatnya. Pengertian ini lebih baik lagi kalau kita lakukan sejak anak masuk usia sekolah. Sebab kebanyakan kebiasaan belajar inilah yang jarang dilakukan oleh anak kita walaupun anak kita sebagai pelajar. Dan kita sebagai orang tua juga jarang yang mengarahkan pada kebiasaan itu. Sehingga tidak mengherankan apabila anak rajin belajarnya hanya kalau akan menghadapi ulangan. Belajar secara rutin akan membuat si anak lebih cepat dan mudah mengerti dibandingkan dengan kalau belajarnya setiap akan menghadapi ulangan. Ingat akan ungkapan " Ala bisa karena biasa " , jadi pelajaran yang semula dianggap sukar kalau sering si anak tersebut mencari pemecahannya, maka lama-lama menjadi mudah. Apalagi kalau anak tidak segan-segan bertanya pada gurunya.

3. Jangan diberi tanggungjawab/beban pekerjaan dirumah yang berlebihan karena hal itu akan menyebabkan anak merasa lelah pada waktunya belajar. Tetapi juga jangan lantas kita biarkan dan tidak kita beri tanggung jawab pekerjaan dirumah sama sekali. Beri tanggung jawab pekerjaan yang ada unsur mendidik, misalnya : merapikan tempat tidur sendiri, mengemasi perlengkapan/perabot belajarnya sendiri, mengatur dan menata/membersihkan ruang belajarnya sendiri. Konsep ini kelak akan menuntun anak dapat memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri.

4. Jangan menyita waktu bermain anak sepanjang anak tersebut memang menggunakan waktu yang tepat untuk bermain. Tetapi sebaliknya jangan biarkan anak bermain tidak pada waktunya. Misalkan bukan waktu libur anak kita biarkan bermain sehingga mengabaikan waktu belajar.

5. Jangan mematikan kreasi anak dalam mengembangkan hoby dan bakatnya sepanjang hoby dan bakatnya positif. Misalnya anak gemar menyanyi, gemar bermain gitar, gemar bermain sepakbola, gemar bermain catur, gemar menggambar, dan lain-lain. Sebab kegemaran tersebut bagi anak merupakan hiburan tersendiri untuk mengiringi waktu luangnya. Sebab siapa tahu dari kegemarannya itu timbul bakat yang kelak akan dapat menopang/membantu langkah karier perjalanan kehidupannya.

6. Berikan pengertian dan bimbingan keagamaan sesuai dengan yang dianut. Bimbinglah untuk melaksanakan sholat lima waktu sesuai dengan syari'at Islam ( kebetulan penulis beragama Islam ) supaya hal itu menjadi kewajiban yang tidak dirasakan sebagai beban. Bahkan lebih baik lagi jika kita biasakan untuk menjalankan sholat sunnah, seperti tahajjut, hajat, dan disertai dengan tuntunan do'a-do'anya. Kewajiban/kebiasan ini akan menuntun/menumbuhkan, dan mempertebal rasa keimanan dan ketaqwaaan yang tinggi terhadap Allah SWT, dan Insya Allah didalam kehidupannya senantiasa mendapatkan hidayah, inayah, dan barokah dariNya.


Itulah sekedar gambaran dan saran yang mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua, terutama orangtua yang berada dalam kesulitan bagaimana cara mendidik anak. Segala yang baik datangnya dari Allah SWT sedangkan yang tidak baik datangnya dari penulis pribadi. Karenanya jika ada kesalahan mohon untuk dimaafkan. Mudah-mudahan anak-anak kita senantiasa mendapat hidayah dan barokah dari Allah SWT, menjadi anak yang sholeh, berbakti pada orangtua, pada agama, pada nusa bangsa, dan bermanfaat bagi sesamanya. Amin.


http://sosialdanpendidikan.blogspot.com/

Sabtu, 02 Januari 2010

KEGUNDAHAN GURU

KEGUNDAHAN GURU PENERIMA TUNJANGAN PROFESI
Oleh : Ahmad Yasin

Undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) dan Undang-undang no. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa guru sebagai pendidik merupakan tenaga profesional. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat yang diperoleh melalui sertifikasi. Bagi guru-guru yang telah mendapat sertifikat pendidik diberikan tunjangan profesional yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok.
Pengakuan guru sebagai tenaga profesional tersebut bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Pemberian tunjangan profesi secara ekonomis meningkatkan kesejahteraan guru, dan diharapkan dapat memacu guru untuk meningkatkan kinerjanya.
Pada pasal 35 ayat (2) Undang-undang no. 14 tahun 2005 dinyatakan bahwa beban kerja guru sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu, yang mencakup kegiatan pokok guru yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan seperti sebagai Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Kepala Laboratorium dan lain-lain.
Dalam melaksanakan tugas pokok yang terkait langsung dengan proses pembelajaran, guru disyaratkan melaksanakan tugas mengajar hanya 1 (satu) jenis mata pelajaran saja, sesuai dengan kewenangan yang tercantum dalam sertifikat pendidik.
Permasalahan yang terjadi, tidak semua guru berada pada kondisi ideal dengan beban mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu, juga masih ada guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahlian sertifikat pendidik.
Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain: pertama, penyebaran guru yang tidak merata. Meskipun perencanaan dan mutasi guru berdasarkan pada kondisi personal tenaga kependidika, namun kenyataan masih ditemukan adanya ketimpangan dalam penempatan formasi tenaga kependidikan. Di suatu sekolah terjadi kelebihan guru yang menyebabkan guru tidak dapat memenuhi kewajiban mengajar 24 jam perminggu. Sementara di sekolah lain terjadi kekurangan guru yang mengakibatkan beban kerja guru menjadi lebih tinggi dan proses pembelajaran menjadi tidak efektif.
Kedua, jumlah peserta didik dan rombongan belajar terlalu kecil. Kondisi ini terjadi di sekolah-sekolah pinggiran dan sekolah yang tidak difavoritkan oleh masyarakat. Jumlah rombongan belajar (rombel) yang terlalu sedikit mengakibatkan jumlah jam tatap muka sedikit.
Ketiga, jumlah jam pelajaran yang sedikit pada struktur program kurikulum. Pada mata pelajaran tertentu seperti Bahasa Asing, Sejarah, Agama, PKn, Seni Budaya, Kewirausahaan, Muatan Lokal, Ketrampilan, dan Pengembangan Diri, hanya mendapat alokasi waktu 2 jam pelajaran per minggu. Akibatnya guru-guru yang mengampu mata pelajaran tersebut tidak dapat memenuhi kewajiban minimal 24 jam tatap muka per minggu.
Keempat, sekolah di daerah terpencil atau sekolah khusus. Populasi penduduk di daerah terpencil biasanya sedikit, sehingga jumlah peserta didik di setiap sekolah juga sedikit, jumlah rombel juga sedikit. Di sekolah-sekolah khusus seperti Sekolah Luar Biasa juga mengalami hal yang sama dalam hal jumlah peserta didik.
Kondisi ini tidak dapat dihindari oleh guru. Akibatnya timbul kegundahan di kalangan guru penerima tunjangan profesi, mereka khawatir akan dihentikannya pemberian tunjangan satu kali pokok tersebut. Secara moral kegundahan tersebut dapat mengurangi etos kerja guru, yang berdampak pada merosotnya kualitas pendidikan. Sungguh sangat ironis, di kala pemerintah sedang berusaha meningkatkan kesejahteraan guru , tetapi guru malah dilanda kegundahan.
Permendiknas no. 39 tahun 2009
Untuk mengantisipasi permasalahan di atas, Pemerintah telah menawarkan beberapa alternatif kepada guru untuk dapat memenuhi kewajiban mengajar sesuai dengan beban kerja ideal yaitu mengajar di sekolah lain, menjadi tutor program Paket A, B, dan C , menjadi guru bina atau guru pamong pada Sekolah Terbuka, melaksanakan sistem pengajaran bersama ( team teaching), dan melaksanakan pengayaan dan remidial khusus.
Pada Permendiknas no. 39 tahun 2009 pasal 2 disebutkan guru yang tidak memenuhi beban kerja minimal 24 jam tatap muka per minggu diberi tugas pada satuan pendidikan formal yang bukan satuan administrasi pangkalnya baik negeri maupun swasta sebagai guru kelas atau guru mapel yang sesuai dengan sertifikat pendidik.
Pasal tersebut memberikan kesempatan bagi guru untuk mengajar di sekolah lain sebagai upaya untuk memenuhi beban kerja minimal. Misalnya seorang Matematika di SMK mengajar 20 jam tatap muka, yang bersangkutan dapat mengajar 4 jam tatap muka di SMK Swasta agar terpenuhi 24 jam tatap muka.
Kenyataan di lapangan tidak mudah mencari sekolah lain sebagai tempat mengajar tambahan. Hampir semua sekolah menghadapi masalah yang sama, guru-gurunya kekurangan jam tatap muka. Masing-masing sekolah berusaha memaksimalkan beban kerja guru yang ada sesuai dengan kondisi sekolah, sehingga tidak mungkin menerima guru dari sekolah lain.
Sistem pengajaran bersama (team teaching) adalah mengajar dalam satu kelompok belajar untuk satu mata pelajaran yang diampu oleh lebih dari satu orang yang memiliki kesamaan sertifikat pendidik. Beberapa orang guru menangani satu jam pelajaran dalam satu rombongan belajar, dimana satu orang diantaranya mengajar dan menyampaikan pelajaran, sedangkan yang lain bertindak sebagai observer atau fasilisator.
Hal ini bisa dilaksanakan apabila tuntutan kurikulum membutuhkan lebih dari satu orang guru untuk menangani satu rombongan belajar yang proses pembelajarannya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan tempatnya. Masing-masing guru dalam satu proses pembelajaran memiliki tugas masing-masing yang dilaksanakan dalam waktu bersama dalam satu rombongan belajar.
Mungkin ini menjadi solusi terbaik , kalau dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip team teaching. Proses pembelajaran menjadi efektif, guru pun memperoleh tambahan jam tatap muka. Kadang kala guru suka memanfaatkan kesempatan, sistem pengajaran bersama disalahtafsirkan. Bukan mengajar bersama dalam waktu yang sama terhadap rombongan belajar yang sama, tetapi mengajar secara bergantian. Akibatnya team teaching tidak dapat diperhitungkan sebagai jam tatap muka.
Sedangkan tugas lain seperti menjadi tutor program Paket A, B, dan C, menjadi guru bina atau guru pamong pada sekolah terbuka, dan melaksanakan pengayaan dan remidial khusus, belum menjamin terpenuhinya beban kerja 24 jam tatap muka, karena tugas-tugas tersebut hanya disetarakan dengan 2 jam tatap muka per minggu.
Redistribusi Guru
Melihat kenyataan tersebut, Pemerintah memberikan alternatif lain yang tertuang dalam Permendiknas no. 39 tahun 2009 pasal 5 ayat (1) bahwa guru dapat mengajar mata pelajaran yang paling sesuai dengan rumpun mata pelajaran yang diampunya dan/atau mengajar berbagai mata pelajaran yang tidak ada guru mata pelajaran pada satuan pendidikan lain, untuk jangka waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya Permendiknas tersebut. Sebagai contoh seorang guru Matematika dapat diberi tugas mengajar mata pelajaran yang serumpun seperti Fisika atau mengajar mata pelajaran lain yang tidak ada guru pengampunya.
Selanjutnya pada pasal 5 ayat (2) juga disebutkan bahwa dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, Dinas Pendidikan dan Depag harus selesai melakukan perencanaan kebutuhan dan redistribusi guru baik di tingkat satuan pendidikan maupun di tingkat kabupaten/kota. Redistribusi bertujuan agar terjadi pemerataan guru sesuai dengan kebutuhan sesuai dengan perimbangan beban kerja yang ideal.
Pendistribusian guru untuk tingkat kabupaten/kota berdasarkan pada distribusi beban mengajar di sekolah yang mengacu pada jumlah jam pelajaran, jumlah rombongan belajar dan jumlah guru. Suatu mata pelajaran yang memiliki alokasi waktu 5 jam tatap muka perminggu, dengan 10 rombongan belajar, jumlah jam tatap muka keseluruhan 50, dibagi 24 , dihasilkan angka kebutuhan guru 2,25. Maka diperlukan 2 orang guru dengan beban kerja 25 jam tatap muka tiap guru. Jika terdapat 3 orang guru, maka salah seorang diantaranya akan memiliki jam tatap muka kurang dari 24 jam, sehingga perlu dicarikan solusi lain atau diredistribusi.
Redistribusi guru ini beresiko terjadinya mutasi besar-besaran, yang berpengaruh pada Daftar Urutan Kepangkatan (DUK) dan karier seorang guru. Untuk mengurangi tingginya angka mutasi, seyogyanya redistribusi hanya diperuntukkan bagi guru-guru yang belum memenuhi beban kerja minimal 24 jam tatap muka.
Permasalahannya sampai saat ini belum ada pedoman yang mengatur tentang redistribusi guru. Biasanya hanya berdasarkan pada senioritas, sehingga memiliki subyektifitas yang tinggi dan terkesan like and dislike . Akhirnya guru pun masih tetap dilanda kegundahan. (Ahmad Yasin, guru SMP 1 Wonopringgo Kab. Pekalongan.)


http://sosialdanpendidikan.blogspot.com/