Sabtu, 02 Januari 2010

KEGUNDAHAN GURU

KEGUNDAHAN GURU PENERIMA TUNJANGAN PROFESI
Oleh : Ahmad Yasin

Undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) dan Undang-undang no. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa guru sebagai pendidik merupakan tenaga profesional. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat yang diperoleh melalui sertifikasi. Bagi guru-guru yang telah mendapat sertifikat pendidik diberikan tunjangan profesional yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok.
Pengakuan guru sebagai tenaga profesional tersebut bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Pemberian tunjangan profesi secara ekonomis meningkatkan kesejahteraan guru, dan diharapkan dapat memacu guru untuk meningkatkan kinerjanya.
Pada pasal 35 ayat (2) Undang-undang no. 14 tahun 2005 dinyatakan bahwa beban kerja guru sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu, yang mencakup kegiatan pokok guru yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan seperti sebagai Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Kepala Laboratorium dan lain-lain.
Dalam melaksanakan tugas pokok yang terkait langsung dengan proses pembelajaran, guru disyaratkan melaksanakan tugas mengajar hanya 1 (satu) jenis mata pelajaran saja, sesuai dengan kewenangan yang tercantum dalam sertifikat pendidik.
Permasalahan yang terjadi, tidak semua guru berada pada kondisi ideal dengan beban mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu, juga masih ada guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahlian sertifikat pendidik.
Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain: pertama, penyebaran guru yang tidak merata. Meskipun perencanaan dan mutasi guru berdasarkan pada kondisi personal tenaga kependidika, namun kenyataan masih ditemukan adanya ketimpangan dalam penempatan formasi tenaga kependidikan. Di suatu sekolah terjadi kelebihan guru yang menyebabkan guru tidak dapat memenuhi kewajiban mengajar 24 jam perminggu. Sementara di sekolah lain terjadi kekurangan guru yang mengakibatkan beban kerja guru menjadi lebih tinggi dan proses pembelajaran menjadi tidak efektif.
Kedua, jumlah peserta didik dan rombongan belajar terlalu kecil. Kondisi ini terjadi di sekolah-sekolah pinggiran dan sekolah yang tidak difavoritkan oleh masyarakat. Jumlah rombongan belajar (rombel) yang terlalu sedikit mengakibatkan jumlah jam tatap muka sedikit.
Ketiga, jumlah jam pelajaran yang sedikit pada struktur program kurikulum. Pada mata pelajaran tertentu seperti Bahasa Asing, Sejarah, Agama, PKn, Seni Budaya, Kewirausahaan, Muatan Lokal, Ketrampilan, dan Pengembangan Diri, hanya mendapat alokasi waktu 2 jam pelajaran per minggu. Akibatnya guru-guru yang mengampu mata pelajaran tersebut tidak dapat memenuhi kewajiban minimal 24 jam tatap muka per minggu.
Keempat, sekolah di daerah terpencil atau sekolah khusus. Populasi penduduk di daerah terpencil biasanya sedikit, sehingga jumlah peserta didik di setiap sekolah juga sedikit, jumlah rombel juga sedikit. Di sekolah-sekolah khusus seperti Sekolah Luar Biasa juga mengalami hal yang sama dalam hal jumlah peserta didik.
Kondisi ini tidak dapat dihindari oleh guru. Akibatnya timbul kegundahan di kalangan guru penerima tunjangan profesi, mereka khawatir akan dihentikannya pemberian tunjangan satu kali pokok tersebut. Secara moral kegundahan tersebut dapat mengurangi etos kerja guru, yang berdampak pada merosotnya kualitas pendidikan. Sungguh sangat ironis, di kala pemerintah sedang berusaha meningkatkan kesejahteraan guru , tetapi guru malah dilanda kegundahan.
Permendiknas no. 39 tahun 2009
Untuk mengantisipasi permasalahan di atas, Pemerintah telah menawarkan beberapa alternatif kepada guru untuk dapat memenuhi kewajiban mengajar sesuai dengan beban kerja ideal yaitu mengajar di sekolah lain, menjadi tutor program Paket A, B, dan C , menjadi guru bina atau guru pamong pada Sekolah Terbuka, melaksanakan sistem pengajaran bersama ( team teaching), dan melaksanakan pengayaan dan remidial khusus.
Pada Permendiknas no. 39 tahun 2009 pasal 2 disebutkan guru yang tidak memenuhi beban kerja minimal 24 jam tatap muka per minggu diberi tugas pada satuan pendidikan formal yang bukan satuan administrasi pangkalnya baik negeri maupun swasta sebagai guru kelas atau guru mapel yang sesuai dengan sertifikat pendidik.
Pasal tersebut memberikan kesempatan bagi guru untuk mengajar di sekolah lain sebagai upaya untuk memenuhi beban kerja minimal. Misalnya seorang Matematika di SMK mengajar 20 jam tatap muka, yang bersangkutan dapat mengajar 4 jam tatap muka di SMK Swasta agar terpenuhi 24 jam tatap muka.
Kenyataan di lapangan tidak mudah mencari sekolah lain sebagai tempat mengajar tambahan. Hampir semua sekolah menghadapi masalah yang sama, guru-gurunya kekurangan jam tatap muka. Masing-masing sekolah berusaha memaksimalkan beban kerja guru yang ada sesuai dengan kondisi sekolah, sehingga tidak mungkin menerima guru dari sekolah lain.
Sistem pengajaran bersama (team teaching) adalah mengajar dalam satu kelompok belajar untuk satu mata pelajaran yang diampu oleh lebih dari satu orang yang memiliki kesamaan sertifikat pendidik. Beberapa orang guru menangani satu jam pelajaran dalam satu rombongan belajar, dimana satu orang diantaranya mengajar dan menyampaikan pelajaran, sedangkan yang lain bertindak sebagai observer atau fasilisator.
Hal ini bisa dilaksanakan apabila tuntutan kurikulum membutuhkan lebih dari satu orang guru untuk menangani satu rombongan belajar yang proses pembelajarannya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan tempatnya. Masing-masing guru dalam satu proses pembelajaran memiliki tugas masing-masing yang dilaksanakan dalam waktu bersama dalam satu rombongan belajar.
Mungkin ini menjadi solusi terbaik , kalau dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip team teaching. Proses pembelajaran menjadi efektif, guru pun memperoleh tambahan jam tatap muka. Kadang kala guru suka memanfaatkan kesempatan, sistem pengajaran bersama disalahtafsirkan. Bukan mengajar bersama dalam waktu yang sama terhadap rombongan belajar yang sama, tetapi mengajar secara bergantian. Akibatnya team teaching tidak dapat diperhitungkan sebagai jam tatap muka.
Sedangkan tugas lain seperti menjadi tutor program Paket A, B, dan C, menjadi guru bina atau guru pamong pada sekolah terbuka, dan melaksanakan pengayaan dan remidial khusus, belum menjamin terpenuhinya beban kerja 24 jam tatap muka, karena tugas-tugas tersebut hanya disetarakan dengan 2 jam tatap muka per minggu.
Redistribusi Guru
Melihat kenyataan tersebut, Pemerintah memberikan alternatif lain yang tertuang dalam Permendiknas no. 39 tahun 2009 pasal 5 ayat (1) bahwa guru dapat mengajar mata pelajaran yang paling sesuai dengan rumpun mata pelajaran yang diampunya dan/atau mengajar berbagai mata pelajaran yang tidak ada guru mata pelajaran pada satuan pendidikan lain, untuk jangka waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya Permendiknas tersebut. Sebagai contoh seorang guru Matematika dapat diberi tugas mengajar mata pelajaran yang serumpun seperti Fisika atau mengajar mata pelajaran lain yang tidak ada guru pengampunya.
Selanjutnya pada pasal 5 ayat (2) juga disebutkan bahwa dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, Dinas Pendidikan dan Depag harus selesai melakukan perencanaan kebutuhan dan redistribusi guru baik di tingkat satuan pendidikan maupun di tingkat kabupaten/kota. Redistribusi bertujuan agar terjadi pemerataan guru sesuai dengan kebutuhan sesuai dengan perimbangan beban kerja yang ideal.
Pendistribusian guru untuk tingkat kabupaten/kota berdasarkan pada distribusi beban mengajar di sekolah yang mengacu pada jumlah jam pelajaran, jumlah rombongan belajar dan jumlah guru. Suatu mata pelajaran yang memiliki alokasi waktu 5 jam tatap muka perminggu, dengan 10 rombongan belajar, jumlah jam tatap muka keseluruhan 50, dibagi 24 , dihasilkan angka kebutuhan guru 2,25. Maka diperlukan 2 orang guru dengan beban kerja 25 jam tatap muka tiap guru. Jika terdapat 3 orang guru, maka salah seorang diantaranya akan memiliki jam tatap muka kurang dari 24 jam, sehingga perlu dicarikan solusi lain atau diredistribusi.
Redistribusi guru ini beresiko terjadinya mutasi besar-besaran, yang berpengaruh pada Daftar Urutan Kepangkatan (DUK) dan karier seorang guru. Untuk mengurangi tingginya angka mutasi, seyogyanya redistribusi hanya diperuntukkan bagi guru-guru yang belum memenuhi beban kerja minimal 24 jam tatap muka.
Permasalahannya sampai saat ini belum ada pedoman yang mengatur tentang redistribusi guru. Biasanya hanya berdasarkan pada senioritas, sehingga memiliki subyektifitas yang tinggi dan terkesan like and dislike . Akhirnya guru pun masih tetap dilanda kegundahan. (Ahmad Yasin, guru SMP 1 Wonopringgo Kab. Pekalongan.)


http://sosialdanpendidikan.blogspot.com/